Pada Suatu Malam-Sapardi Djoko Damono


selamat malam, gereja. hei kaukah anak kecil yang dahulu menangis di depan pintuku itu? ia ingat kawan-kawannya pada suatu hari natal dalam gereja itu, dengan pakaian serba baru, bernyanyi; dan ia di luar pintu, ia pernah ingin sekali bertemu yesus, tapi ayahnya bilang yesus itu anak jadah. ia tak pernah tahu apakah ia pernah sungguh-sungguh mencintai ayahnya barangkali malam ini yesus mencariku, pikirnya. tapi ia belum pernah berjanji kepada siapa pun untuk menemui atau ditemui; ia benci kepada setiap kepercayaan yang dipermainkan. ia berjalan sendiri di antara orang ramai seperti didengarnya seorang anak berdoa; ia tak pernah diajar berdoa ia pun suatu saat ingin meloloskan dirinya ke dalam doa, tetapi tak pernah mengetahui awal dana khir sebuah doa; ia tak pernah tahu kenapa, barangkali seluruh hidupku adalah sebuah doa yang panjang katanya sendiri; ia merasa seperti tentram dengan jawabannya sendiri.hidup adalah doa yang panjang.

Cerpen: belum ada judul


Untuk diriku sendiri dan semua perpisahan ini termasuk R. H.

 

Aku adalah kamar. Yang lama kau tinggali, yang sudah lama kau tinggal. Dengan lantai keramik yang menggembung, yang dulu kau sengaja injak dengan kencang. Lebih baik hancur sekalian ucapmu saat itu. Bagimu tak ada tengah-tengah hanya ada baik dan buruk, dan kau tak masalah dengan buruk, kau hanya bermasalah dengan yang tengah-tengah.

 

Aku masih bisa mengingat sepatumu yang berloncatan di atas lantaiku, berwarna merah. Aku suka warna merah! Apakah kau juga menyukai merah sepertiku? Tapi saat itu aku tak sempat menanyakannya padamu. Kalau kau kembali entah kapan aku akan menanyakannya, dan semoga saja kau memakai sepatu yang sama dengan waktu itu.

 

Aku adalah meja belajarmu. Yang dulu sering kau tiduri. Aku selalu bingung dengan dirimu, kau anggap aku ini apa? Kasurmu? Aku ingin kau anggap sebagai meja belajar! Jadi pakailah aku dengan kertas-kertasmu, dengan penamu, dengan buku-bukumu.

 

Aku sebal dengan kebiasaanmu itu tapi aku selalu merasa nyaman dengan tubuhmu yang tidak keras itu. Cukup diriku saja yang bertubuh keras. Sebagai meja belajar aku selalu merasa seperti ibumu yang menyanyikan nina bobo sebelum kau tidur di pangkuanku. Lalu aku akan mengusap rambutmu yang tipis itu. Aku selalu suka dengan rambut lurusmu. Kapan kau kembali membiarkanku mengusap rambutmu? Sepertinya sudah lama sekali, aku tak bisa mengingat tanggal, kalender terakhir sudah kau ambil dari atasku.

 

Aku adalah laci di meja belajarmu. Yang kau isi dengan sampah-sampah menyebalkan: kesedihan, ketakutan dan kekecewaanmu. Aku selalu ingin memuntahkan hal-hal itu dari perutku. Tapi hanya ini yang tersisa dari dirimu di diriku. Aku sudah penuh, tapi sebenarnya aku masih kosong. Aku penuh dengan sampah, seharusnya aku menggantikan tong di luar sana bukannya tetap diam di sini.

 

Aku membencimu, seperti aku membenci kepergianmu yang tiba-tiba. Kau memisahkanku dari semua kekasihku: pena, kalkulator, novel Sang Guru Piano-mu. Kau membiarkanku sendirian di sini. Belum pernah aku mengenal orang sejahat dirimu, yang begitu dingin tanpa kata perpisahan dan pelukan hangat pergi untuk entah sampai kapan. Aku masih sering membayangkan pada malam hari pada jam biasanya kau beranjak tidur, telapak tanganmu yang hangat menggenggam tanganku, menggiringku maju, lalu kau mengambil satu kekasihku: novel itu yang tak pernah sanggup kubaca. Apakah kau menyukainya seperti aku menyukainya? Kau bahkan lebih mengenalnya dariku. Dasar orang jahat!

 

Aku adalah setumpuk surat berwarna kuning yang gagal kau kirimkan. Di dalam laci ini kau meninggalkanku bersama selapis debu dan sebuah garpu plastik yang tak pernah kau cuci. Kami tak pernah mau berbincang. Aku membenci debu, kesedihan yang menumpuk di dalam ruangan yang tak berpenghuni. Aku pun membenci garpu plastik kotormu, dendam yang tak mungkin diurai mikroba dan jamur manapun. Di sini penuh sesak, dadaku pun penuh sesak dengan debu-debu kesedihan yang mampat.

 

Aku masih bisa mengingat tanganmu yang gemetar saat mengawinkanku dengan sebuah pena yang baru kau beli. Ujung pena itu begitu tajam, beberapa kali membuatku lecet, saat itu aku ingin memegang tanganmu mencoba membuatmu lebih tenang. Memangnya siapa yang ingin kau kirimi surat? Kau menyemprotkan parfum ke seluruh tubuhku melipatku lalu menciumku sebentar, bibirmu hangat dan gemetar. Kenapa kau tak pernah mengirimkanku? Aku ingin bertemu dengan ia yang namanya kau tulis di tubuhku.

 

Aku adalah kalimat-kalimat canggungmu. Anak yang kau berikan kepada pengantin baru itu: pena dan kertas kuning. Ibuku selalu mengingat-ingat dirimu, aku hanya ingin mengingatmu saja, itu sudah lebih dari cukup bagi seorang yang menyerahkan diriku pada orang asing. Aku selalu merasa diriku adalah anak yang dititipkan oleh ibu kandungnya kepada sebuah panti dan kemudian diserahkan kepada seorang ibu tiri yang tak pernah mau menerimaku.

 

Kalimatmu ini adalah anak-anak yang tak bisa bermain sebagaimana yang lain. Aku adalah anak yang tak pernah merasakan pengajaran dari ibunya, darimu. Aku adalah anak yang terlahir untuk menjadi kesedihan dan kekecewaan, walaupun kau melahirkanku dengan tremor dan kebahagiaan. Aku adalah sebuah paket yang tak pernah dirias dengan cantik dan tak akan pernah terkirim. Hanya beberapa baris kalimat yang kini sudah tidak berarti apa-apa karena waktu memakan segalanya, bukankah kau pernah bilang padaku: hidup ini adalah rantai makanan, dan predator tertinggi adalah sang waktu.

 

Aku akan menunggumu walau waktu telah memakan separuh dari diriku. Semoga saat kau kembali nanti kau masih akan bisa membaca tubuh anakmu ini di selembar kertas kuning.

 

Aku adalah sebercak parfum yang kau semprot ke atas kertas kuning. Seperti kalimatmu itu, aku adalah anak kandung yang kau titipkan kepada ibu tiri. Tapi aku hanyalah anak bungsu yang lahir belakangan yang tak terlalu penting yang berumur pendek.

 

Aku hanya singgah sebentar di kertas kuning ini. Sepertinya kakakku sudah lupa denganku. Tapi aku masih mengingatnya. Tak ada yang mengingatku, tak ada yang bisa mengingatku karena tak ada yang berhasil mencium bauku. Sebentar lagi umurku habis, aku akan kembali bersama uap air melayang di alam sana. Aroma dan bau akan selalu mengingatkanmu pada seseorang katamu dulu, tapi karena ibuku tak pernah terkirim maka tak akan ada yang mengingatmu denganku. Aku adalah anak durhaka yang tak bisa berbakti pada ibunya. Kenapa tak kau kutuk saja aku menjadi batu? Setidaknya aku akan tetap ada dan terlihat. Tidak seperti sekarang ini.

 

Aku adalah sebuah gelas keramik merah. Satu dari beberapa hal yang berhasil kau kirimkan kepadanya. Aku selalu membanggakan itu kepada yang lain. Mereka hanya seonggok sampah yang tak akan pernah berguna.Seonggok ketakukan dan kelemahan dirimu yang hanya diam dan menunggu sang waktu.

 

Perlu kau tahu, aku masih disimpannya rapat, sepertinya ia menyukaiku. Haha, aku bangga dengan diriku! Ia masih memakaikan kertas pelindung itu padaku. Bagaimana keadaanmu sekarang?

 

Aku tak bisa menceritakan apapun lagi kepadamu. Aku tak bisa melihat. Ia menutupi dirinya dari diriku, masih ada jarak tak tertembus cahaya setebal nol koma tiga milimeter yang selalu memisahkanku dari melihatnya. Semoga saja ia masih mengingatmu. Sepertinya ia masih sering menyebut namamu. Apakah kau masih ingat denganku? Lalu bagaimana dengannya? Nanti akan kuceritakan hal lain kepadamu, sudah giliran bantal untuk bercerita.

 

Ini masih aku, gelas merah bukan bantal. Sepertinya ia tidak mau berkata apapun kepadamu, tapi ia masih menyimpan banyak air mata, suara sengguk dan pelukan tubuhmu yang-sebagaimana ia ceritakan padaku-sebenarnya bukan untuknya. Dia tahu banyak hal, tapi ia tak ingin membuatmu mengingatnya. Biarlah waktu memakan segalanya.

 

(Jakarta, 18 Juni 2011)

Curcol Ga Jelas


Aku adalah sebuah kamar, yang ditumpuki debu dan sarang laba-laba, yang lama tak berpenghuni. Aku adalah sebuah laci, yang tak pernah lagi kau buka, yang ditumpuki kantong plastik bekas, kertas-kertas resi dan tiket bioskop, sudah penuh pikirmu, padahal aku masih kosong sebagai laci. Aku adalah selembar salinan nota binatu, yang sudah lama ditinggalkan oleh tapak-tapak karbon, yang sudah lama ditinggalkan olehmu.

Aku adalah sepetak hutan di belakang rumahmu, yang dulu sering kau datangi sepulang sekolah, yang kini didatangi lebih banyak orang, sekarang diriku lebih ramai dengan suara mesin pemotong. Aku adalah sebuah peri pohon, yang dulu kau takut untuk bermain dengannya, yang kini tak tahu lagi mau kemana. Sebenarnya aku ingin berdiam ditiang-tiang kayu rumahmu, tapi kau tak ada di rumah.

Aku adalah segumpal tisu, yang kau beri makan sperma, lalu menjadi makanan tempat sampah. Dunia ini hanya rantai makanan bukan? Sampai saat ini aku berharap kau menjawab tidak, tapi aku selalu gagal menemuimu di dalam sini.

Cerpen: Ne Me Quitte Pas


ne me quitte pas
oleh Satria Anggaprana

DI stasiun itu dia menunggu keretamu—yang tak kunjung tiba—bersama orang tua yang menunggu anak pulang atau mungkin menunggu waktu mereka pulang karena tidak juga datang atau memang tidak akan pernah datang. Beberapa orang memang pergi dan kembali, tetapi banyak yang pergi untuk benar-benar pergi. Apakah berguna menunggui mereka yang benar-benar pergi?

Dia duduk diam di peron, memandang rel yang kosong. Apa benar kau akan pulang? Dengan kereta? Bukan dengan bus, kapal laut, atau pesawat? Oh ya aku ingat tak ada bandara di kota kita. Dia diam sepanjang tahun ini. Dia sudah menjadi debu peron, menjadi ludah, sisa makanan yang jatuh dan terinjak, bungkus permen, lantai peron. Mengapa dia tak pernah mau bercerita kepadaku tentang kamu? Tentang orang yang pergi mencari mutiara air hujan ke negeri yang tak pernah hujan. Tentang kalian yang terus menggali dengan jari-jari tanah yang kering penuh retakan.

Tentang negeri yang hanya pernah kudengar dari lagu. Lagu orang yang tak pernah mau ditinggalkan. Lalu kenapa kemudian kalian malah saling meninggalkan? Mencari mutiara hujan, mencari cara untuk mencintai kekasihnya, mencari cara untuk mati yang sepi. Bukankah kalian takut kesepian? Lalu kenapa dia masih menunggumu? Kenapa dia tidak pergi saja, meninggalkan kamu yang sudah jelas-jelas meninggalkan dia. Apakah karena kalian saling mencinta? Kalau begitu kenapa dia biarkan dirimu pergi bersama orang banyak bertahun-tahun yang lalu dari stasiun ini?

Aku tak pernah bisa mengerti pikiran dia. Dia menunggui kereta yang tak pernah datang dari negeri tanpa hujan. Kenapa tak dia kejar saja dirimu dengan kereta pagi? Stasiun ini hanya memberangkatkan kereta. Sekarang tak ada kereta yang datang. Tak ada yang mau kembali sebelum mendapatkan mutiara hujan untuk melengkapi perhiasan kekasihnya. Melengkapi kekasihnya.

Kereta pagi segera dilansir, orang-orang berdesakan, kereta menuju negeri tanpa hujan tak pernah kosong. Tak ada keluarga yang mengantar, tak ada lambaian sapu tangan di udara, tidak ada hiruk-pikuk, hanya sepi dan diam. Kepergian mereka hanya menyisakan orang yang menunggu. Menunggu sesuatu yang tak pernah ada. Dan aku hanya memandangi mereka dari balik kaca. Beberapa bulan lagi tugasku di stasiun ini akan berakhir. Dan mereka yang menunggu termasuk dirinya sebentar lagi akan terlupakan, akan hilang. Bukankah kau pernah berkata kepadaku,“Kita harus melupakan, semuanya bisa dilupakan.” [1]

Aku tak ingin lupa. Sesuatu yang terlupa kemudian mencoba mengingatnya, bukankah sama saja dengan kehilangan? Semuanya bisa dilupakan katamu, semuanya bisa kehilangan pikirku. Tapi aku tak ingin kehilangan.

Apa kau ingat? Kalau kau sudah melupakannya biarkan aku saja yang mengingat dan memutar kembali di kepalaku. Pada pagi itu jauh sebelum kamu mengenalnya, sebelum lagu itu berputar dan berulang di otak semua orang. Sebelum kita semua, atau kalian semua dirundung wabah kesenduan, wabah yang rasanya begitu manis didengar namun pahit untuk dicecap.

Kamu mengajakku menghabiskan sore dengan beberapa cangkir latte dan sepiring cake keju. Saat itu masih ada kereta yang datang kembali ke stasiun kita dengan keriuhan keluarga, karena mereka yang pergi masih ingin kembali. Di sela jam istirahatku, kita duduk berdua di sebuah kafe di seberang stasiun. Kau duduk di sofa seberangku namun tidak pernah memandangku. Yang kau lihat hanya orang di balik kaca. Tidak bisakah kau memperhatikan orang semeja denganmu ini saja? Apakah karena aku kurang terlihat manis? Apakah karena aku terasa pahit luar dan dalam? Apakah karena aku tidak mau merasa sendu seperti mereka yang berkeliaran di luar sana, mencari bekas kekasih di setiap angin yang lewat?

Aku memandangi wajahmu yang bulat. Aku merasa kita secara fisik sangatlah serupa. Apakah mungkin kita ini anak kembar? Lelucon murahan kelas opera sabun itu cukup sering muncul di pikiranku. Kau masih saja diam. Memang benar aku tidak dapat menciptakan kata-kata yang menarik perhatianmu, tapi apakah kemiripan ini tak membuatmu tertarik untuk sekedar menyinggahkan bingkai kacamatamu itu ke arah wajahku? Aku menyedot habis gelas ketiga latte, mencoba membuat suara srok-srok yang menyebalkan, tapi kau tetap diam, kaca yang lumpuh itu tetap memegangi wajahmu. Kau tahu? Kau terus diam. Bukankah kita sering melihat gunung mati yang kita kira sudah terlalu renta, meletus? Kalau begitu mengapa kau terus diam? Dan bukankah kita tahu setelah itu sang gunung menyelimuti kota-kota dengan api dan abu, lalu menumbuhkan gandum di sana sini? Bukankah akan ada perayaan saat panen tiba? Mengapa kau terus diam? Mengapa tidak kau ajak aku mengobrol walau dengan bingkai kacamatamu saja, dan dengannya aku akan menarik tanganmu ke bar di tengah kota. Aku akan mentraktir seluruh pengunjung dengan bir dan minuman terbaik. Aku akan memberikan perayaan, tapi kenapa kau memilih kaca itu: kesenduan yang bisu di baliknya. Tidakkah kau merasa muak? Aku sudah muak. Dengan latte-latte ini, dengan cake keju, dengan kaca, denganmu.

Jam istirahatku habis. Aku meninggalkanmu duduk di kafe itu, sendirian. Aku sudah membayarkan semua latte dan cake itu untukmu. Jadi nikmatilah sisa yang ada di gelasmu itu bersama kaca dan kebisuan. Aku tidak kuat. Aku merasa lebih tenang berada di balik loket. Menatap wajah kosong di balik kaca, menyorongkan karcis tanpa memberikan senyum, karena wajah mereka memang tidak mengharapkannya.

Sesuatu yang tipis memenuhi ruangan kerjaku, tipis dan cukup hangat, seperti selimut di kamar kita dulu. Apakah ini yang kau rasakan ketika melihat kaca dengan orang sendu di baliknya? Aku merasa ketenangan menyelimutiku, duniaku menjadi hanya sebatas kaca dan orang sendu yang bisu. Apakah itu juga yang kau rasakan, bersama kaca?

“Ini akan menjadi hari terbaikmu,” bisikku, kepada mereka yang menunggu, kepada dia. Walau kaca ini membuatku bisu di telinga mereka. Tapi memang ini akan menjadi hari terbaik mereka. Mutiara air hujan sudah ditemukan, dan tangan yang mengais tanah kering akan berhenti untuk kembali ke kota ini. Bukankah itu yang kalian tunggu selama ini?

Satu stasiun lagi dan kereta yang kalian tunggu akan segera tiba. Pengeras suara sudah memberitakan, membuat kalian berdiri dari lantai peron. Membuat kalian berdesakan, setelah lama sekali aku tidak melihat yang seperti itu di kota ini. Satu stasiun lagi dan penantian kalian akan berakhir. Aku berharap lagu yang kalian sanjung itu tidak lagi kalian ingat.

Mungkin kau sudah tidak mengingatnya, sepulang kerja, setelah menemuimu di kafe, aku menulis sebuah puisi. Mengirimkannya pada seorang teman, dari percakapan kita sebelumnya. Percakapan? Itu lebih seperti monologku bukan dialog kita.

Setelah kita berpisah, setelah aku membuang selimut tipis kita, kamu bertemu dengan dia. Kamu melihat dia dari balik kaca. Wajahnya kosong, mencari sesuatu di udara. Kamu menangkap pencariannya. Kamu terperangkap dengan dia.

Kemudian tanpa persetujuanku, puisiku telah mendapatkan nada, ia telah mendapatkan jiwanya. Dan temanku itu membuatnya berputar di radio, di televisi, di pikiran kita. Puisiku itu mencair masuk ke dalam mimpi kalian, mencair menjadi lelehan permen di telinga kalian. Dasar buruk rupa bodoh temanku itu! Dan aku melihat akibat buruknya hingga hari ini.

Kereta yang dia tunggu sudah berangkat. Aku memandang kosong pada kereta yang baru dilansir dari stasiun ini. Kalian berdesakan. Apakah akan seperti ini hari pengadilan nanti? Aku tidak terharu, atau merasa sedih, aku hanya ingin kembali melihatmu berjalan bersama dia dalam diam. Aku ingin melihat jalur yang mati di stasiun ini hidup kembali, jalur untuk pulang. Sungguh memuakkan melihat stasiun yang hanya memiliki satu jalur rel.

Karena lama tidak ada kereta yang datang, hanya ada satu jalur rel dari kota kita ke stasiun terdekat yang berfungsi. Aku mendengar lagu temanku berputar di pengeras suara. Bisakah dua kereta yang berlawanan berada dalam satu jalur yang sama? Aku diam di balik kaca loket, memandangi dia yang memandang jauh ke rel yang menjauh.

Selimut tipis kita tidak kurasakan lagi di dalam sini. Apakah barusan kau datang dan mengambilnya dariku? Dan akhirnya lagu itu berhenti, terpotong oleh sebuah pengumuman tanpa bel. (*)

.

Jakarta, Maret 2011

Catatan:

[1] Satu kalimat dari lagu berjudul “Ne Me Quitte Pas” yang dinyanyikan oleh Jacques Brel. Beberapa narasi di cerpen ini juga terpinspirasi dan menukil dari lirik lagu tersebut.

Dimuat di harian Suara Merdeka tanggal 24 April 2011.

entah apa


Tuhan semakin sering
singgah ke kamarku.
Rebah di kasur,
diam melihatku
mondar-mandir.

Sudah beberapa kali
aku mencoba
membunuhNya di kamar
selalu berhasil
selalu gagal.

Setiap kubunuh
Ia bangkit berdiri
di atas kasur
pada hari ketiga
kematianNya.

Akhirnya kuputuskan
untuk membiarkanNya
hidup, singgah, dan
rebah di kasurku.

Tagged

Jalan II


Di bawah
tiang listrik
pohon jambu air
lengkung jalan layang
yang bau pesing
kencing para pemabuk.
Kutemukan surat
tertera namamu
alamatmu berbeda-beda,

hasil tebakan.

gumpalan surat terremas

tak beralamat.

Mungkin untukmu.

Lama aku tak menulis surat remeh untukmu

yang lama pun tidak pernah sampai.

Tagged , ,

KALENDER


Ia ingin terlahir lebih dulu darimu, di dunia berikutnya. Pergi dari semua ingatan yang mungkin terselip di tumpukan majalah dewasa di atas meja belajarmu.

Ia ingin terlahir lebih dulu dari bapanya, di dunia berikutnya. Pergi dari kekecewaan yang mungkin psikiater itu masukkan ke dalam resep yang pernah diberikan kepadanya.

Ia ingin terlahir pada hari apa saja, di dunia berikutnya. Karena ia tak yakin kalau di sana ada rumah yang memasang kalender dinding.

Karena hanya fana yang mengenal waktu.

Jalan


Aku selalu teringat pada seorang pria yang selalu mengucapkan khotbahnya, lalu pada seorang wanita yang berdiri diam di tengah malam. Keduanya selalu kulihat berada di bawah tiang listrik, pada persimpangan jalan yang berbeda pada tapak malam yang berbeda. Dengan panas lampu merkuri dan terkadang guyuran air hujan mereka selalu tepat waktu selalu dapat kulihat, di persimpangan jalan yang berbeda, bukan hanya satu atau dua blok tetapi sepuluh blok.

Aku juga tak pernah mengerti bagaimana bisa aku berjalan pada setiap malam, melintasi jalan, kelokan, pertigaan, perempatan atau bahkan perlimaan kalau ada hingga sejauh itu.

Di setiap melintasi pria itu aku memperlambat langkah, mencoba mendengarkan khotbahnya yang kemudian hilang tertinggal. Tak jarang saat aku melintas di depan pria itu aku melihatnya menangis terduduk memeluk tiang listrik. Mungkin ibunya dulu meninggal tertabrak di dekat sana, mungkin itu tempat terakhir ia melihat istrinya setelah mungkin saja mereka bercerai, mungkin juga itu tempat ia lahir, mungkin saja, aku hanya mengenalnya seperti aku mengenal tiang listrik itu. tak ada kedekatan, selalu ada satu dua kaki jarak kami.

Sepuluh blok dari pria itu aku akan berjalan menyusur pinggiran got yang terjauh dari sebuah tiang listrik. Aku tak pernah berani mendekati wanita yang berdiri diam di bawahnya. Keheningan lebih menakutiku daripada suara-suara yang memekakan. Dalam keheningan selalu kulihat nyawa-nyawa yang terlepas, dalam keheningan dapat kudengar kesedihan yang dipendam dan dipertahankan begitu lama membusuk di dalam paru dan jantung orang-orang. Dalam keheningan segalanya berbicara, dan itu sangat mengerikan. Bagaimana kalau hening itu membuat bapaku atau ibuku mendengar sesuatu dari pikiranku? Atau bagaimana kalau hening itu membuat adikku memenggal lehernya sendiri karena dunia malah menjadi begitu terdengar?

Aku berjalan melintasi jalan, kelokan, pertigaan, perempatan atau bahkan perlimaan. Aku melihat tiang-tiang listrik yang tegak, seperti miliknya yang selalu saja tegak seperti itu di pagi hari. Anjing kencing di sebuah tiang listrik, gelandangan sibuk mengorek sampah di samping tiang listrik.

Lalu pada fajar hari saat hening naik ke atas langit, akan kudengar pintu yang digeser, dengan kriet dan debam yang begitu kencang. Kemudian dengan diam kulihat sesuatu melayang menari menuju langit setelah sebelumnya cahaya matahari menyentuh tiang listrik di sampingku. Orang-orang tadi pergi dari tiang listrik, sesuatu yang ditunggu ternyata tak kunjung tiba. Ia yang kutunggu belum juga datang.

Selalu seperti ini, aku langsung pergi setelah baru saja sampai di bawah sini. Di bawah tiang listrik di blok ke-19. Bukankah kau baru saja berulangtahun yang ke-19? Kalau begitu tahun depan aku akan menunggumu di bawah tiang listrik di blok ke-20. Semoga saja sebelum fajar tiba akan ada yang datang kepadaku, di saat hening mengencangkan suara yang belum tentu kau sendiri ingin mendengarnya.

nocte tremendae


Ia sudah tahu bahwa pada akhirnya memang sendiri, tak ada siapapun termasuk Tuhan. Di balik partisi hijau itu ia menggerakkan jempol kakinya, merasakan sindrom dini hari yang mulai merayap walaupun saat itu baru jam sepuluh pagi. Beberapa hari ini pada pukul dua pagi kesedihan datang kepadanya, bergerombol dari ingatan tentang beberapa hal: tisu yang basah dan dikerumuni semut merah, topi beludru, tiga botol air mineral, dan bunyi tanda pesan masuk di sebuah ponsel dari balik dinding -ia tahu itu karena ialah yang mengirim pesan walaupun hingga beberapa jam berlalu tidak akan ada balasan masuk ke dalam ponselnya.

Sindrom dini hari itu terus mengumpulkan tenaga. Pada hari pertama sindrom itu hanya mampu menimbulkan gigil dan suara sesenggukan yang tertahan oleh sebuah bantal. Pada hari kedua, sindrom itu sudah mampu membuat ia mengambil tali tambang, pisau ukir, dan cairan pembersih lantai walau hanya untuk meraba dan mengenal tekstur. Dan pada hari ketiga, sindrom itu datang jauh lebih awal dari seharusnya, seperti hujan di bulan ini. Dan aku yakin di hari ketiga ini tali tambang, pisau ukir dan cairan pembersih lantai sudah merasa akrab dengan mulut dan urat nadi di tubuhnya.

Tagged , ,

Gagal Berhitung


Saya dimintai bantuan oleh satu organisasi keagamaan yang terkenal ekstrim di kampus untuk menjadi juri lomba cerpen Islami. Saya sempat tertawa kencang saat teman saya mengabarkan itu pada saya. Mungkin memang sudah nasib.

Saat melakukan penilaian saya tidak terkejut dengan karya-karya yang ada. Sesuai dengan perkiraan saya: sebagian besar cerpennya hanya melakukan penempelan istilah arab yang mungkin akan terdengar islami ditelinga atau kalau tidak hanya menempelkan pemikiran yang sangat sempit yang mungkin dikira islami.

Beberapa cerpen membuat saya tertawa, ini bukan pelecehan hanya berbagi pengalaman saja. Salah satu cerpen menceritakan tentang seorang biarawati yang entah bagaimana bisa menikahi seorang muslim taat dan kemudian silakan tebak sendiri bagaimana kelanjutannya, seperti kisah kesaksian bukan? Dan masih banyak lagi ketidaklogisan yang seharusnya masih dapat dibangun di sebuah cerpen sepuluhan halaman.

Ada juga yang malah menggunakan ayat di dalam narasinya, maksud saya ayat utuh plek plek plek. Saya kembali tertawa sambil bergidik, ditengah dialog kok bisa tiba-tiba ada penulis yang menjelma “khatib-naik-mimbar-lalu-menyebutkan-ayat”. Sungguh nafsu atas kebenaran yang begitu mengerikan.

Cukup sesingkat itu saja saya sudah bisa mengerti bagaimana pemahaman keagamaan mahasiswa di kampus saya: sempit dan menghakimi. Islam hanya ditangkap sebatas istilah-istilah berbahasa arab yang sebenarnya memiliki padanan kata dalam bahasa Indonesia, kode-kode jaringan ekstrimis (misal: ikhwan untuk memanggil teman lelaki), kemualafan, sikap monopoli akan kebenaran dan sebagainya.

Dan pada akhirnya yang mendapat nilai tertinggi adalah satu cerpen yang tidak memakai satu istilah arabpun atau satu ayatpun tapi mampu memasukkan nilai Islam secara konkrit bukan hanya sebatas terminologi dan ibadah fisik. Dalam cerpen itu dikisahkan ada kakak-adik, sang adik selalu bingung saat menghitung sampai suatu angka tertentu. Dan seterusnya, yang menurut pandangan saya jauh lebih memeram dan memasak pesan Islam yang sesungguhnya: kebaikan, kesalihan, kelembutan. Bukan penghakiman yang dangkal dengan ayat yang pemahamannya hanya sebatas kuku kelingking kaki saja.

Semoga dengan menangnya cerpen itu pemahaman keagamaan mahasiswa bisa bergerak maju dan tidak berjalan di tempat atau malah mundur ke masa tirani agama yang sangat mengerikan.

 

Tagged ,