Terjemahan Petavatthu 1.5. Hantu kelaparan di luar dinding


Berdiri mereka di balik dinding,

di persimpangan.

Berdiri mereka di ambang pintu,

kembali ke rumah.

Tetapi saat makanan dan minuman terhidang

tak ada yang mengingat mereka.

Sebagai buah karma hidup yang lalu.

 

Kemudian ia yang merasakan kesusahan keluarganya

berdana makanan dan minuman -layak dan bersih-

dan berpikir: “Ini untuk saudara kami.

Semoga mereka berbahagia.”

 

dan mereka yang berkumpul di sana

kerumunan arwah keluarga

berterima kasih dan mengucap berkat

atas makanan dan minuman itu:

“semoga saudara kami berumur panjang

karenanya kami mendapatkan ini semua

kami telah dihormati

dan tak ada penebar yang tak menuai.

 

Karena di sini (alam hantu kelaparan)

tiada cocok tanam

tiada penggembalaan

tiada perdagangan

tiada mata uang

Mereka yang meninggal dan

menjadi hantu kelaparan

hanya hidup dari apa yang dilimpahkan.

Seperti air menghujani bukit

lalu mengalir ke lembah

Semua yang dilimpahkan

berguna bagi yang telah mati.

“Ia melimpahkan kepadaku, melakukan jasa untukku,

merekalah keluarga, pasangan, dan sahabatku.”

Pelimpahan harus dilakukan kepada mereka yang mati

saat kita mengingat jasa yang lalu.

 

Karena tak ada tangisan,

tak ada kesusahan,

tak ada ratapan

yang berguna bagi ia yang mati.

Tetapi ketika dana diberikan, secara baik kepada Sangha

akan seketika berguna dalam waktu lama.

 

Seperti itulah

jasa telah dilakukan bagi keluarga

penghormatan diberikan kepada yang mati,

dan kekuatan diberikan kepada bikkhu.

dan kebaikan yang telah dilakukan

tidaklah sedikit.

 

 

Catatan:

Alam Peta atau alam hantu kelaparan adalah satu dari empat alam rendah. Sebagai akibat dari karma semasa hidup, mereka terlahir kelaparan berkeliaran mencari keluarganya semasa hidup.

Tagged ,

Doppler


Dulu kita terbaring bersisian. Satu titik di balon Doppler. Kemudian aku terlempar. Di dua tempat jarak itu menemukan dirinya. Dan sesuatu menarik kita menjauh. Hingga aku tak tahu apakah kau masih ada di dalam sini.

 

 

Apakah kau masih ada di sana?

Gatha Labalaba


Di tengah ruangan sempit penuh rumah labalaba ini kita berjalan berusaha berputar berusaha menghindar. Tetapi disetiap dadamu yang naik turun kau telah menggosok rumah para penenun itu. Kita berputar hingga jaring yang menyelimuti membuat kita tak tahu lagi mana pintu keluar. Dan  kita tak tahu lagi mengapa kita sampai di ruangan ini. Waktu berputar seolah abadi.

tulisan jaman kuliah


Trotoar

Aku merasa kami sedang berjalan bersisian. Tapi ternyata kami berjalan di trotoar yang berseberangan. Beberapa kaki lagi jalan ini terbelah. Dan tak ada satupun yang berniat untuk menyeberang.

Ventilasi

Lampu dibalik ventilasi menyala. Aku jadi keranjingan duduk di kursi seberang kamarnya sejak bau kapur barus dan keringat kerap meruap dari dalam. Meninggalkan sebuah jejak yang nyata samar-samar.

Lampu dibalik ventilasi padam. Aku duduk di kursi, mengganti-ganti saluran televisi, mencoba menghirup sisa-sisa bau kapur barus dan keringat yang akan habis sebentar lagi.


“Jarak itu sebenarnya tak pernah ada. Pertemuan dan perpisahan dilahirkan oleh perasaan”

Joko Pinurbo – Celana Pacar Kecilku Di Bawah Kibaran Sarung

“Jarak itu sebenarnya t…

Tagged ,

Cerpen: First day of winter


untuk R.H.

 

Di kursi tunggu peron ia duduk, bukan menunggu. Ia memandangi kereta yang lewat tiap beberapa menit. Satu per satu orang yang duduk di dekatnya beranjak naik. Setiap kereta hanya dimasuki tak lebih dari lima orang, banyak yang hanya dimasuki satu atau bahkan tak ada sama sekali. Ia memandang ke dalam kedalaman kaca film, wajah dibaliknya hanya berhenti sebentar di depan, sebelum bergerak menjauh. Tanpa ekspresi, memandang jauh dengan tatapan kosong dan kelopak yang tak pernah berkedip. Ia memeluk lutut, telapak kakinya menyentuh kursi alumunium yang dingin dan keras. Ia rindu kasur yang kasar dan hangat. 

 

Tak ada suara di stasiun itu, hanya deru kereta yang datang dan pergi tanpa suara khas dari bel dan peluit. Ia mengenal semua orang di sana, tapi enggan mengobrol karena tidak biasanya mereka membisu seperti itu. Sebuah kereta datang, ia menutup mata dan menyumbat telinga dengan jari, suara keras dan benda berukuran raksasa selalu menjadi mimpi buruk baginya. Setelah suara berhenti, tubuhnya bergerak,kakinya turun, lalu badannya  berdiri dan berjalan ke sebuah pintu yang terbuka. Ia tidak bisa melawan, atau berbalik. Dirasakannya otot wajahnya menjadi kaku. Ia merasa seperti baru saja mendapat suntikan botox, kaku, beku.

 

Di dalam gerbong, tubuhnya duduk, dapat ia rasakan pendingin ruangan yang tepat menghembus ke arahnya. Lehernya membatu, engselnya seperti digips menjadi satu. Beberapa menit yang panjang itu dilanjutkan dengan wajah yang bergerak hilang tertinggal di peron. Dalam hitungan detik kereta memacu kecepatan yang tak pernah ia bayangkan. Lalu ia mendengar suara keras, seperti ledakan. Kereta itu jatuh bebas dari rel yang putus ke dalam jurang, berubah menjadi wahana halilintar tanpa gravitasi. Tubuhnya melayang. Dilihatnya tebing berlumut di luar bergerak begitu cepat. Sudah lewat sepuluh menit tapi kereta belum juga menghantam dasar jurang.

 

Lumut di gigir tebing bergerak mendekat. Jurang itu menyempit, membentuk corong raksasa berwarna hijau-coklat. Ia membayangkan gua gelap, lorong menuju langit lain, bumi lain. Dan setelah kegelapan yang panjang itu, matanya akan dihujani dengan cahaya matahari lain yang akan tetap berpendar di balik kelopaknya yang tertutup. Lalu ia akan kembali teringat pada sebuah lagu yang dulu sekali ia dengar, Somewhere Over The Rainbow. Di atas awan kereta berhenti, sebuah pelangi menembusnya. Dan segalanya begitu damai.

 

Kedamaian di dalam kepalanya terhenti, ketika tubuhnya kembali diliputi gravitasi. Kereta itu menghantam dasar jurang, ia menghantam dinding gerbong. Suara keras disusul api yang menelan semuanya. Ia merasakan angin menerpa tubuhnya. Dan ia kembali terjatuh, melintasi api yang berujung ubin batu andesit dingin. Suara dari logam yang bergesekan mengiris keheningan.

 

Tubuhnya kembali menjadi miliknya, menjadi budak yang penurut. Ia mendongak memandangi kubah besar berdebu bergaya beaux-art. Ia kembali berada di peron. Pintu kereta tertutup membawa orang yang beku. Membawa orang-orang yang dekat dengannya. Semuanya pergi, hanya ia yang kembali.

 

Berdiri lalu ia berjalan melintasi peron. Menembus udara yang kosong. Melewati lorong yang dingin. Menghidup oksigen yang begitu murah karena hanya ia yang memakainya di lorong itu. Ia berjalan meninggalkan stasiun, meninggalkan cafe dan wangi keik keju, meninggalkan kekosongan.

 

Jalan bersudut sempurna yang membagi kota menjadi persegi panjang kecil berwarna abu-abu dengan pengenal angka ini pernah dikenalnya. Ia tidak mungkin melupakannya, di saat semua kota di dunia menyesatkan kendaraan dan pejalan kaki, kota ini menuntunnya. Jalanan itu terasa kaku dan membosankan, dengan sangat sedikit jembatan yang sama membosankannya. Tetapi ia tersenyum melihat dengan antusias, menjalani jalan, trotoar, tikungan dan toko-toko roti bagel yang pernah menjadi kehidupannya. Ia membayangkan jalan dan trotoar itu dipenuhi taksi kuning dan manusia serta kertas pembungkus roti yang jatuh dan terinjak di masa lalu. 

 

Setelah beberapa belas blok, ia memutar badannya sembilan puluh derajat menghadap ke sebuah flat. Kepalanya mendongak, memperhatikan sebuah jendela kecil yang dulu setiap pagi ia akan muncul kepada dunia dengan muka bantal dan segelas kopi. Sebuah lubang tempat ia dengan antusias menyambut salju pertama turun. Lubang tempat ia memandang jauh ke seberang, ke sebuah pent house yang membuatnya membagi sebagian hidupnya yang sedikit, yang  membuatnya menghabiskan tabungan dan sisa hidupnya di flat itu. Salju pertama tahun ini turun mengenai rambutnya.

 

Ia mengingat-ingat sebuah pantai putih dengan laut hijau-biru tempat ia dan kamu akan pergi dan bersatu. Dirasakannya keringat dan tubuh yang memanas saat ia memilih tempat, pendeta, dan penyedia yang memungkinkan sesuatu yang tidak bisa terjadi di tempat tinggal kalian dulu terjadi. Ia melihat dirinya dan kamu memilih banyak hal, beberapa kali kalian bertengkar hebat, beberapa kali juga kalian sepakat. Membeli banyak hal, mempersiapkan satu hal. Kepergian.

 

Hingga suatu saat kalian tiba-tiba memutar kemudi, berbelok ke tanah yang beku di bulan Desember. “Bukankah ini sama-sama putih?” katamu. Ia terpaksa setuju. Kalian memesan ulang tempat, pendeta, dan penyedia. Semoga saja disana sudah bisa, pikirnya.

 

“Selama ini aku bingung, untuk apa kita mempersiapkan semua ini? Kita berdua asing di negeri yang asing. Mencoba mewujudkan sesuatu yang dulu tidak mungkin. Tapi apa semua berguna kalau kita kembali pulang? Kau mau kembali tidak diakui. Tak ada pengurangan pajak, tak ada tunjangan, tak ada yang berubah hanya kebencian yang menumpuk.” katamu.

 

Ia diam, tidak menjawab. Terpaku ke layar komputer, mengirim surel save the date kepada beberapa orang, membuat undangan di jejaring sosial, mengecek kembali semuanya. Mendiamkannya, membiarkan semuanya mengendap, biar kalian saja yang larut. Tapi ia tak sadar bahwa kamu menolak larut, kamu menahan, membangun dinding pertahanan tebal untuk musuh yang tak kunjung datang yang bahkan tak kamu ketahui.

 

Kemudian kamu menenggelamkan semua pertanyaanmu, kalian terbang bersama ke tanah dengan musim yang asing. Semuanya berjalan lancar, upacara dan pengesahan. Kamu memintanya untuk tetap tinggal, mencari pekerjaan lalu setelah memungkinkan berpindah kewarganegaraan. Ini lebih masuk akal, katamu. Aku tak yakin akan betah dengan kota ini, jawabnya. 

 

Ia setuju, kalian menyewa flat dengan sisa tabungan, melamar pekerjaan. Ia diterima di bagian olahraga di sebuah surat kabar dan kamu menjadi seorang auditor. Ia membenci olahraga sejak sekolah dasar. Dan kamu mencintai akuntansi sejak sekolah menengah. 

 

Jam kerja kalian tidak menentu, saat ia sibuk sejak dini hari, kamu sedang tidak memeriksa apapun, dan sebaliknya. Hanya keajaiban dan tengah malam yang mempertemukan waktu senggang kalian. Sebelum berangkat ia selalu membuatkan sarapan untukmu, menyapkan bekal makan siang, dan makan malam yang didinginkan di lemari es. Setiap pagi yang kamu temukan hanya sebelahmu yang kosong dan semua makanan itu. Kamu sarapan sendirian sambil menonton berita ekonomi. Memandangi angka-angka merah dan hijau. Kalian tidak pernah makan malam bersama di luar. Berusaha menghemat.

 

Di sana ia jarang memberimu jatah bukan jatah uang tapi yang lain yang membuat kalian terikat. Kamu memintanya, terkadang ia yang meminta. Beberapa kali kalian bertengkar. Beberapa kali kalian mendapat jatah istimewa sehabis ribut mereda. 

 

Ia lelah, memutuskan untuk menjadi penulis lepas. Kamu melarangnya setengah hati. Kehidupan kalian menjadi lebih sulit. Kamu menanggung kebutuhannya, ia menjadi bebanmu. Tulisannya sulit diterima. Ia mundur, mencari pekerjaan. Ia menjadi auditor, sepertimu. Kini waktu kalian jadi lebih banyak. Tapi kalian tetap berhemat. Cukup makanan murah untuk sebuah rumah yang lebih besar. Karena properti tak pernah merugi katamu dan makanan hanya menambah hidup tiga hari saja.

 

Setelah puluhan tahun makanan murah, tabungan kalian akhirnya cukup untuk membeli sebuah pent house. Kamu bekerja sambilan, meneruskan kesukaanmu: menulis. Tahun-tahun merubah segalanya, tempat tinggal, selera pembaca, diri kalian. Ia menulis negeri yang kalian tinggalkan, memenangkan Pulitzer Prize, menabung seluruh hadiahnya. Kalian pensiun dan hidup dari tulisan.

 

Tak ada yang kekal dari semua yang terkondisi, kamu mulai sakit-sakitan di akhir 70-mu, royalti dari puluhan bukunya mulai berkurang karena selera orang kembali berubah, tabungan kalian tergerus. Kamu keluar masuk rumah sakit, ia selalu duduk menungguimu, membacakan cerita-ceritanya, dan ia pergi hanya untuk membuatkan makanan.

 

Kemudian kamu pergi saat ia menungguimu sambil menuliskanmu sebuah cerita di hari pertama musim dingin kalian yang ke-46. Kenapa kamu tidak menunggu sampai cerita ini selesai? Apa kamu sudah bosan dengan tulisanku? Ia tertidur dengan mata bengkak di sampingmu. 

 

Ia mendapat serangan alzheimer, pindah ke flat yang dulu kalian tinggali. Menghabiskan hidupnya duduk di balik jendela, memandangi pent house kalian. Memandangi jalanan yang kosong. Ia tidak lagi melihat orang lain. Yang dapat ia lihat hanya dirinya sendiri yang setiap hari berjalan dan berhenti di depan flat. Dan setiap hari adalah hari pertama musim dingin. 

 

 

Manna, Februari 2012

Tagged

#np Don’t Explain – Billie Holiday


“Hush now, don’t explain

Just say you’ll remain

Unless you’re mad, don’t explain

 

My love, don’t explain

what is there to gain

Skip that lipstick

Don’t explain

 

You know that I love you

And what loving does

All my thoughts are real

For I’m so completely yours

 

Try to hear folks chatter

And I know that you cheat

Right or wrong, don’t matter

When you’re with me, sweet

 

Hush now, don’t explain

You’re my love and pain

My life’s your love

Don’t explain”

 

Salah satu lagu yang sering masuk playlist saya, menurut kabar Billie Holiday menulis lagu ini setelah suaminya pulang larut malam dan ada bekas lipstik di kerah bajunya. Yang membuat lagu ini kuat, selain karena suara Billie yang keren juga dalam liriknya walaupun ia tahu bahwa suaminya cheating yang penting saat itu mereka kembali bersama.

Tagged ,

Eulogy


Kita hanyalah sekumpulan ingatan yang akan terbuang, yang akan membuang dirinya. Seperti yang telah disabdakan oleh Jelinek, Perempuan tua itu, bahwa segalanya adalah fana termasuk seni, yang kita kira abadi. Seperti dirimu yang akan segera hilang setidaknya hingga aku mati atau hingga kehilangan diriku sendiri. Karena di sebagian besar ingatan, kau hanyalah data temporer yang diperbolehkan untuk berdiam tidak lebih dari seminggu.

Aku tak mungkin membayar premi untuk menjaminkan ingatan mengenai dirimu, atau memindahkannya ke dalam sebuah piringan dengan terlebih dulu mengubah wajah dan namamu menjadi rangkaian sinyal listrik satu nol. Kalaupun itu mungkin, aku tidak akan pernah melakukannya. Lebih menyakitkan melihatmu dengan sebuah tekanan telunjuk di atas layar daripada mencarinya susah payah di dalam rimba kepalaku.

Aku merekam hampir semuanya mengenai dirimu, di dalam ingatanku yang buruk ini yang hanya mampu menyimpan nama-nama dalam waktu tidak lebih dari tiga hari. Tapi kau sendiri selalu percaya bahwa sesuatu mungkin saja terjadi diluar kemampuan biasa saja bukan? Dan itu kulakukan untuk dirimu.

Kemarin aku berkunjung. Memandangi lumut kerak yang merayap di kaki batu nisan. Duduk untuk beberapa jam, mencoba merasakan kehadiranmu di sana. Tetapi yang kudapatkan hanyalah bayangan ranting kamboja tua, angin dari peziarah yang melintas di belakang dan sebuah kesendirian yang duduk persis di sisiku.

Malamnya aku nyalakan lilin yang entah keberapa untuk mengenangmu di gereja yang sama dengan lima tahun yang lalu saat aku duduk sendiri di barisan pertama pada misa requiem. Keluargamu duduk berdesakan di bangku lain. Tidak ada teman yang datang. Karena kau bahkan tak perah memiliki kenalan. Aku berdoa untukmu, di dalam udara dan nyanyian yang asing. Aku berdoa, berkali-kali menyebut Tuhan, sesuatu yang kau anggap asing.

Aku berjalan melalui ambang pintu, meninggalkan kekosongan. Jalan di depan sana begitu gelap.

Kau memelukku sambil memegang sebuah amplop dengan lambang palang merah. Aku sudah tidak takut lagi. Kamu sudah tidak takut lagi? Kau mempererat pelukanmu, menimbulkan bunyi pada tulang di dadaku. Apa yang pernah kamu takutkan? Aku memandang kosong, membiarkan tanganmu yang bisa saja meremukkan tulang belakangku. Membiarkan tubuhmu berguncang. Kemudian aku tak pernah lagi melihatmu keluar  dengan kemeja rapi pada minggu pagi atau sore.

Tak berselang lama seseorang menekan tombol pada sebuah kemudi yang menggerakkan piston berkarat, nasibku. Menabrakkannya tepat ke tubuhku. Lalu menendangku keluar dari kota ini.

Setiap pagi kubuka jendela kamar, membiarkan nyamuk, yang paling kau benci menerobos masuk menubruk wajahku. Memandangi atap tetangga yang hanya setengah meter di depan jendela, menginjaki lantai keramik yang kembali menggembung yang dulu pernah kau perbaiki. Apakah kau pernah membayangkan bahwa suatu saat kita dapat bersama untuk waktu yang panjang di sebuah rumah, di sebuah kota? Dan kita tidak perlu lagi pergi hidup di dua rumah yang terpisah oleh ribuan mil atau pun hidup sebentar disebuah kamar dengan dinding dan tetangga yang tidak akan pernah menerima keberadaan kita. Dan kau tak perlu lagi merasa bersalah kepada induk semang -dia seharusnya bersyukur kepada kita, karena kita tidak akan membuat bumi miliknya menjadi sempit dan berisikan tangisan anak-anak- untuk sesuatu yang kita lakukan di dalam kamar ini, di saat hanya selapis keringat yang memisahkan.. Kau harus menunggu lama agar itu terjadi, dan aku menabung begitu lama untuk bisa memotong ribuan mil itu hingga setipis keringat.

Aku selalu bingung dengan sikapmu. Kau merasa bersalah untuk sesuatu yang kau butuhkan, yang tidak bernada salah sedikitpun. Apakah aku mengeluarkan nada sumbang malam itu, yang dapat membangunkan tetangga sebelah untuk menggedor pintu dan membangunkan keluarganya untuk ikut memecahkan jendela? Dan dengan rasa bersalahmu itu kita mengulangnya kembali saat tabunganku telah memotong jarak kita.

Tidak ada hewan berbulu indah di luar kamar ini, yang dulu kau bicarakan dengan cekikikan ditelepon saat kau memandangi seekor kucing yang bermain di sebuah toko hewan peliharaan. Di sana hanya ada kucing tua yang dulu pernah kau beri makan, yang sekarang hanya mampu duduk dengan mantel bulunya yang sudah tipis dan bernanah. Hanya ada beberapa lalat yang terbang di atas air yang berwarna hitam. Hanya warna-warna murung yang selalu kau benci dari baju-baju yang kupilih.

Aku memandangi lumut di atap seberang. Aku tak mau membayangkannya berada ditubuhmu sekarang. Tapi semua itu datang dengan sendirinya. Bayangan-bayangan datang memakan ingatan tentangmu, mengunyah segalanya menjadi sesuatu yang dingin dan tua. Sesuatu yang begitu ingin untuk segera ditinggalkan, tapi hanya itu yang sekarang membuatmu bertahan, di dalam ingatanku.

Bisa saja sehari setelah kematianmu, aku menjadi sebuah mesin berjalan dengan engsel dan roda yang tak lagi padu. Menjadi sesuatu yang tak berisi dan tak berarti. Dilupakan sebelum benar-benar tiada. Tapi aku tak mau menyakitimu, aku masih ingin menghidupimu dengan nafkah ingatan yang seadanya. Dulu kau selalu menagih yang seadanya itu kepadaku, setiap kita bertemu. Aku membutuhkannya, katamu. Aku membutuhkanmu, kataku. Semoga kau tidak marah kepadaku atas apa yang aku ceritakan ini.

Di sebelah kasur duduk diam cangkir keramik merah. Aku menggunakannya seperti yang kau suka: menjadi tempat uang receh. Bukan menjadi yang aku suka: alat minum. Jeritan lengking uang logam yang mengalir jatuh dan beradu dengan keramik selalu membuatku duduk di sudut ruangan. Hanya hal-hal seperti ini yang mampu membuatmu tetap ada. Bukan suara lembut air yang berjalan riang.

Jika orang-orang Yahudi itu memiliki sehari duahari Shiva*, maka aku memiliki seumur hidup Shiva-mu. Aku tak mau sekejam kaum reformis yang hanya memakai pita koyak hitam untuk kekasihnya yang pergi. Aku ingin memakai kain koyak dari baju kelabu yang kupilih dari tumpukan yang dulu kau pilihkan untukku, itu pertama kalinya kau menginjak dirimu. Aku akan memberikan Shiva yang terpanjang dan terkoyak ini bagimu.

Dan akan kau dengar lagu-lagu yang dulu kau berikan kepadaku yang kini menjadi ratapan yang kukirim ke dalam dirimu, ke dalam ingatanku.

Aku berbalik, memandangi pintu. Ada yang mengetuk. Kau membuka pintu kamar.

Kenapa begitu lama kau datang menjemput.

Keterangan:

*Shiva adalah hari berkabung dalam tradisi Yahudi. Pada hari-hari itu, yang ditinggalkan memakai pakaian koyak dan mengenang yang wafat. Hari itu adalah untuk yang wafat, dan tidak diperkenankan bagi orang yang berkabung untuk mengenang selain yang wafat.

Cerpen: Eulogy


 

Kita hanyalah sekumpulan ingatan yang akan terbuang, yang akan membuang dirinya. Seperti yang telah disabdakan oleh Jelinek, Perempuan tua itu, bahwa segalanya adalah fana termasuk seni, yang kita kira abadi. Seperti dirimu yang akan segera hilang setidaknya hingga aku mati atau hingga kehilangan diriku sendiri. Karena di sebagian besar ingatan, kau hanyalah data temporer yang diperbolehkan untuk berdiam tidak lebih dari seminggu.

Aku tak mungkin membayar premi untuk menjaminkan ingatan mengenai dirimu, atau memindahkannya ke dalam sebuah piringan dengan terlebih dulu mengubah wajah dan namamu menjadi rangkaian sinyal listrik satu nol. Kalaupun itu mungkin, aku tidak akan pernah melakukannya.

Aku merekam hampir semua mengenai dirimu. Memasukannya ke dalam ingatanku yang buruk yang hanya mampu menyimpan nama dalam waktu tidak lebih dari tiga hari. Bukankah kau selalu percaya bahwa apapun mungkin saja terjadi? Itu kulakukan untuk dirimu.

Setiap pagi kubuka jendela kamar, merasakan setiap tabrakan nyamuk di wajahku. Dulu kau begitu membenci hewan itu. Memeranginya dengan telapak tanganmu. Meninggalkan pedih dan merah marun di setiap bunyi nyaring. Sekarang satu dari keduanya masih bergelayut di kamar ini.

Aku memandangi atap tetangga yang hanya setengah meter di depan jendela. Menginjaki lantai keramik bergelombang yang dulu kau perbaiki. Apakah kau pernah membayangkan bahwa suatu saat kita dapat hidup bersama untuk waktu yang panjang di sebuah rumah, di sebuah kota? Dan kita tidak perlu lagi hidup di dua rumah yang terpisah ribuan mil.  Dan tidak perlu lagi hidup sebentar di sebuah kamar dengan dinding dan tetangga yang tidak akan pernah menerima keberadaan kita. Dan kau tak perlu lagi merasa bersalah untuk sesuatu yang kita lakukan di dalam kamar ini. Bukankah kau harus menunggu dan aku harus menabung begitu lama?

Aku selalu bingung dengan sikapmu. Kau merasa bersalah untuk sesuatu yang kau butuhkan, yang tidak bernada salah sedikitpun. Apakah aku mengeluarkan nada sumbang malam itu, yang dapat membangunkan tetangga sebelah untuk menggedor pintu dan membangunkan keluarganya untuk ikut memecahkan jendela? Dan dengan rasa bersalahmu itu kita mengulangnya kembali.

Tidak ada hewan berbulu indah di luar kamar ini, yang dulu kau bicarakan dengan cekikikan ditelepon saat kau memandangi seekor kucing yang bermain di sebuah toko hewan peliharaan. Kini hanya ada kucing tua yang pernah kau beri makan, yang sekarang hanya mampu duduk dengan mantel bulunya yang sudah tipis dan bernanah. Hanya ada beberapa lalat yang terbang di atas air yang berwarna hitam. Hanya warna-warna murung yang selalu kau benci dari baju-baju yang kupilih.

Aku merasakan sebuah kotak hitam berdiri di sampingku. Ia ikut memandang ke luar jendela. Salib karatan mengunci lehernya. Aku memeluk pinggangnya. Kemudian ia pergi, mungkin kembali ke rumah orang tuamu. Yang tak menginginkanmu di sini. Yang ingin menyimpan seluruh abumu di rumahnya. 

Malam itu kita bertemu dengan diriku yang masih vegetarian. Kau terus bertanya mengenai pilihanku. Aku tak mau membunuh. Kita semua akan dibunuh. Hah? Oleh penyakit, oleh waktu. Itu bukan dibunuh, itu mati. Sama saja. Dibunuh dan mati itu berbeda. Kita semua memiliki predator. Aku tak mau menjadi predator. Tidak akan bisa, bahkan jika kau tidak makan kau akan tetap menjadi predator, bagi dirimu sendiri. Apakah kau tak takut kehilangan?

Sepulangnya ke kamar kau memberikan sebuah amplop dengan palang berwarna merah di sudutnya. Alasan rasa bersalahku, katamu. Aku membukanya, membaca beberapa paragraf dan sebuah tabel. Aku tak menemukan alasanmu. Mungkin bersembunyi dibalik tabel, katamu. Tidak ada. Pasti dia bersembunyi di sana. Ah, tidak ada alasan di sini, mana mungkin sebuah tanda tambah kecil di sebuah tabel cukup baginya untuk bersembunyi! Tiba-tiba kau menangis.

Kau memelukku hingga pagi. Ini adalah Minggu ke sepuluh kau tidak pergi dengan kemeja dan celana panjang hitam. Aku menanyakan kenapa, kau tidak menjawabnya. Kau memilih untuk bersembunyi di lenganku. Siang ini kamar ini kembali membelah dirinya. Menyeretku jauh. Dan akhirnya kita benar-benar berpisah, pada pagi yang cerah. Pagi saat aku mengutuk matahari yang berani bersenang-senang pada hari yang seharusnya mendung ini. Pagi di saat aku duduk di sebuah bangku di sebuah ruangan yang asing dengan nyanyian dan doa yang asing.

Aku diam, menunduk di dekat dirimu yang berbaring di seberang Kristus. Aku membacakan doa, bahasa yang asing. Menyebut Tuhan, yang asing. Aku tak ingin misa ini disudahi. Karena jika ini selesai, maka aku harus berjalan bersama keluargamu yang tidak pernah mengenalku ke sebuah krematorium. Yang karena aromanya mebuatku kembali menjadi vegetarian. Aku tak ingin mengingatmu dengan sepiring ayam panggang atau sate kambing.

Bisa saja sehari setelah kematianmu, aku menjadi sebuah mesin berjalan dengan engsel dan roda yang tak lagi padu. Menjadi sesuatu yang tak berisi dan tak berarti. Dilupakan sebelum benar-benar tiada. Tapi aku tak mau menyakitimu, aku masih ingin menghidupimu dengan nafkah ingatan yang seadanya. Dulu kau selalu menagih yang seadanya itu kepadaku, setiap kita bertemu. Aku membutuhkannya, katamu. Aku membutuhkanmu, kataku. Semoga kau tidak marah kepadaku atas apa yang aku ceritakan ini.

Di sebelah kasur duduk diam cangkir keramik merah. Aku menggunakannya seperti yang kau suka: menjadi tempat uang receh. Bukan menjadi yang aku suka: alat minum. Jeritan lengking uang logam yang mengalir jatuh dan beradu dengan keramik selalu membuatku duduk di sudut ruangan. Hanya hal-hal seperti ini yang mampu membuatmu tetap ada. Bukan suara lembut air yang berjalan riang.

Jika orang-orang Yahudi itu memiliki sehari duahari Shiva*, maka aku memiliki seumur hidup untuk meratapimu. Aku tak mau sekejam kaum reformis yang hanya memakai pita koyak hitam untuk kekasihnya yang pergi. Aku ingin memakai kain koyak dari baju kelabu yang kupilih dari tumpukan yang dulu kau pilihkan untukku, itu pertama kalinya kau menginjak dirimu. Aku akan memberikan Shiva yang panjang dan koyak ini bagimu.

Dan akan kau dengar lagu-lagu yang dulu kau berikan kepadaku yang kini menjadi ratapan yang kukirim ke dalam dirimu, ke dalam ingatanku.

Aku berbalik, memandangi pintu. Ada yang mengetuk. Kau membuka pintu kamar.

Kenapa begitu lama kau datang menjemput.

Keterangan:

*Shiva adalah hari berkabung dalam tradisi Yahudi. Pada hari-hari itu, yang ditinggalkan memakai pakaian koyak dan mengenang yang wafat. Hari itu adalah untuk yang wafat, dan tidak diperkenankan bagi orang yang berkabung untuk mengenang selain yang wafat.

Cerpen: Halte


Oleh Satria Anggaprana

Tebakan perempuan gila di dalam bustrans malam itu ada benarnya, bahwa aku adalah Kristus. Sebelum bertemu denganmu, sebelum sesuatu yang tak terlihat menggerakkan roda besi berkarat nasibku dan mendorongku keluar dari kota ini.

Aku berdesakan di tengah bustrans, setelah jam kerja. Aku tidak sedang berdiri di dalam bus yang bergerak di jalur yang mengarah ke rumah, jalur sebaliknya. Saat itu aku sedang jatuh cinta kepada Rosa*. Aku dengan senang hati menyerahkan diriku kepadanya, memndengarkan teriakannya: Nikah Maria, yang membuat telingaku pekak. Saat itu duniaku hanyalah buku puisi Rosa. Halte, bustrans, penglaju adalah kabut yang sesaat kemudian hilang. Kami berbincang sepanjang perjalanan, menuju entah kemana. Aku menyimak, ia tidak. Ia bagian dari duniaku, dunianya adalah dirinya. Aku mendongakkan kepala, terekstase di tengah kerumunan kabut.

Kabut kembali nyata, pintu otomatis terbuka. Hanya dua orang yang naik di halte itu: seorang pria ngengat berkacamata dengan lengan kemeja tergulung dan seorang perempuan dengan rambut pendek yang memegang sebotol air mineral. Tak lagi baru. Botol itu mungkin sudah beracun karena sudah berpuluh kali di isi. Aku membuka duniaku sesaat, memegang erat tangan Santa Rosa yang sudah tidak licin lagi. Pria ngengat dan wanita tadi akan segera terusir dan kembali menjadi kabut.

Pria ngengat tadi sudah pergi ke lorong bus sebelum ditendang keluar. Kabut-kabut pun mendadak pergi dari hadapanku, di bagian tengah bus. Mereka dengan sigap menyelinap di balik lorong, mendorong dan mendesak. Perempuan tadi semakin nyata di duniaku, ia tak mampu berdiri tegak. Imigran gelap ini semakin berani masuk ke pedalaman. Mencabut patok perbatasan kemudian membuangnya ke tumpukan semak. Dan kemudian setelah beberapa kata yang tak jelas dan tak begitu ingin didengar, ia sudah berani masuk ke dalam istana, memegang pegangan bus yang sudah kupakai. Aku membukakan gerbang untuknya, kubiarkan ia berbagi tumpuan. Kubiarkan ia bertanya mengenai taman hiburan, mengenai air mancur, mengenai tempat yang mungkin pernah dijanjikan kepadanya dulu entah oleh siapa. Tempat-tempat itu tidak terdengar seperti sebuah rumah yang ingin ditinggali kembali, lebih seperti jalinan jalan yang ingin ia lalui.

Rosa tidak pernah suka apabila duniaku terusik. Dengan cepat ia tarik tanganku ke balik tas. Ia memilih menarik dirinya dan beristirahat sejenak. Di dalam tas hitam ia adalah ratu, pemilik seluruh kerajaan. Prioritas pertama, dengan kamar tidur terluas dan privasi yang terus dijaga. Ia sangat posesif kepada dirinya sendiri.

Sementara itu bunyi ya terus berdesakan saling mendorong di ujung lidahku. Tanpa menggunakan parasut mereka jatuh bebas ke liang telinga perempuan itu. Masuk ke dalam lorong sempit yang dipersempit lagi dengan gumpalan kotoran telinga berminyak yang menempel di dindingnya. Menendangi gendang telinga kemudian merembes masuk ke otak perempuan itu. Otaknya jalan-jalan setapak dengan tujuan yang tak pernah tampak. Sabana terbakar bersama singa jantan dan ular beludak. Api hampir memakan sepertiga bahu jalan. Sekelompok anak-anak hilang berjalan jinjit, berpegangan tangan. Hingga satu diantaranya jatuh ke dalam sumur yang lubangnya tidak tertutup di tengah jalan. Yang lainnya terus berjalan melalui bibir sumur. Beberapa melongok mendengar teriakan saudaranya yang sudah tidak bisa terdengar. Mungkin saudaranya itu sudah jatuh melebihi bulu hidung, mencoba bergelayutan di anak tekak dan kemudian terjun bebas merobek aliran darah lalu terdorong ke dalam jantung.

Perempuan itu terus bertanya. Aku terus menjawab. Aku tidak memberinya jawaban. Aku membiarkannya tetap singgah di istana, karena aku tahu ia takkan sempat meminta suaka. Tak ada waktu singkat untuk memberi suaka bahkan jika ia adalah korban perang. Ia meminum air di botol. Kemudian kami diam. Pompa hidrolik menghembuskan udara, pintu otomatis terbuka, mungkin ini halteku. Aku tak tau tujuanku. Aku berjalan keluar melepaskan tangannya yang sudah keterlaluan begitu lama berada di sana. Kabut kembali perlahan mengisi bagian tengah bus, menghalangiku dari perempuan tadi. Ia masih melanjutkan pertanyaan-pertanyaannya mengenai tempat.

Aku teringat akan Rosa. Stasiun Itu.

Aku meloncat ke dalam halte, kabut memandangiku dari belakang. Mereka diam, hingga aku mendengar perempuan itu berteriak keras. Ia berteriak memanggilku Yesus, aku tidak terpanggil. Takku kenal nama itu. Bukan aku. Ia memanggilku Kristus, aku tidak terpanggil. Kemudian ia berteriak, tidak memanggil. Aku tahu kalau Kau sering menyamar menjadi manusia! Mengapa kau terus menyamar! Aku menoleh pada pintu yang tertutup. Melihat wajahnya bergerak menjauh.

Catatan:
* Rosa adalah Dorothea Rosa Herliany, penyair kelahiran Magelang. Salah satu bukunya berjudul “Santa Rosa”.

(Manna, Agustus 2011)