Cerpen: Halte


Oleh Satria Anggaprana

Tebakan perempuan gila di dalam bustrans malam itu ada benarnya, bahwa aku adalah Kristus. Sebelum bertemu denganmu, sebelum sesuatu yang tak terlihat menggerakkan roda besi berkarat nasibku dan mendorongku keluar dari kota ini.

Aku berdesakan di tengah bustrans, setelah jam kerja. Aku tidak sedang berdiri di dalam bus yang bergerak di jalur yang mengarah ke rumah, jalur sebaliknya. Saat itu aku sedang jatuh cinta kepada Rosa*. Aku dengan senang hati menyerahkan diriku kepadanya, memndengarkan teriakannya: Nikah Maria, yang membuat telingaku pekak. Saat itu duniaku hanyalah buku puisi Rosa. Halte, bustrans, penglaju adalah kabut yang sesaat kemudian hilang. Kami berbincang sepanjang perjalanan, menuju entah kemana. Aku menyimak, ia tidak. Ia bagian dari duniaku, dunianya adalah dirinya. Aku mendongakkan kepala, terekstase di tengah kerumunan kabut.

Kabut kembali nyata, pintu otomatis terbuka. Hanya dua orang yang naik di halte itu: seorang pria ngengat berkacamata dengan lengan kemeja tergulung dan seorang perempuan dengan rambut pendek yang memegang sebotol air mineral. Tak lagi baru. Botol itu mungkin sudah beracun karena sudah berpuluh kali di isi. Aku membuka duniaku sesaat, memegang erat tangan Santa Rosa yang sudah tidak licin lagi. Pria ngengat dan wanita tadi akan segera terusir dan kembali menjadi kabut.

Pria ngengat tadi sudah pergi ke lorong bus sebelum ditendang keluar. Kabut-kabut pun mendadak pergi dari hadapanku, di bagian tengah bus. Mereka dengan sigap menyelinap di balik lorong, mendorong dan mendesak. Perempuan tadi semakin nyata di duniaku, ia tak mampu berdiri tegak. Imigran gelap ini semakin berani masuk ke pedalaman. Mencabut patok perbatasan kemudian membuangnya ke tumpukan semak. Dan kemudian setelah beberapa kata yang tak jelas dan tak begitu ingin didengar, ia sudah berani masuk ke dalam istana, memegang pegangan bus yang sudah kupakai. Aku membukakan gerbang untuknya, kubiarkan ia berbagi tumpuan. Kubiarkan ia bertanya mengenai taman hiburan, mengenai air mancur, mengenai tempat yang mungkin pernah dijanjikan kepadanya dulu entah oleh siapa. Tempat-tempat itu tidak terdengar seperti sebuah rumah yang ingin ditinggali kembali, lebih seperti jalinan jalan yang ingin ia lalui.

Rosa tidak pernah suka apabila duniaku terusik. Dengan cepat ia tarik tanganku ke balik tas. Ia memilih menarik dirinya dan beristirahat sejenak. Di dalam tas hitam ia adalah ratu, pemilik seluruh kerajaan. Prioritas pertama, dengan kamar tidur terluas dan privasi yang terus dijaga. Ia sangat posesif kepada dirinya sendiri.

Sementara itu bunyi ya terus berdesakan saling mendorong di ujung lidahku. Tanpa menggunakan parasut mereka jatuh bebas ke liang telinga perempuan itu. Masuk ke dalam lorong sempit yang dipersempit lagi dengan gumpalan kotoran telinga berminyak yang menempel di dindingnya. Menendangi gendang telinga kemudian merembes masuk ke otak perempuan itu. Otaknya jalan-jalan setapak dengan tujuan yang tak pernah tampak. Sabana terbakar bersama singa jantan dan ular beludak. Api hampir memakan sepertiga bahu jalan. Sekelompok anak-anak hilang berjalan jinjit, berpegangan tangan. Hingga satu diantaranya jatuh ke dalam sumur yang lubangnya tidak tertutup di tengah jalan. Yang lainnya terus berjalan melalui bibir sumur. Beberapa melongok mendengar teriakan saudaranya yang sudah tidak bisa terdengar. Mungkin saudaranya itu sudah jatuh melebihi bulu hidung, mencoba bergelayutan di anak tekak dan kemudian terjun bebas merobek aliran darah lalu terdorong ke dalam jantung.

Perempuan itu terus bertanya. Aku terus menjawab. Aku tidak memberinya jawaban. Aku membiarkannya tetap singgah di istana, karena aku tahu ia takkan sempat meminta suaka. Tak ada waktu singkat untuk memberi suaka bahkan jika ia adalah korban perang. Ia meminum air di botol. Kemudian kami diam. Pompa hidrolik menghembuskan udara, pintu otomatis terbuka, mungkin ini halteku. Aku tak tau tujuanku. Aku berjalan keluar melepaskan tangannya yang sudah keterlaluan begitu lama berada di sana. Kabut kembali perlahan mengisi bagian tengah bus, menghalangiku dari perempuan tadi. Ia masih melanjutkan pertanyaan-pertanyaannya mengenai tempat.

Aku teringat akan Rosa. Stasiun Itu.

Aku meloncat ke dalam halte, kabut memandangiku dari belakang. Mereka diam, hingga aku mendengar perempuan itu berteriak keras. Ia berteriak memanggilku Yesus, aku tidak terpanggil. Takku kenal nama itu. Bukan aku. Ia memanggilku Kristus, aku tidak terpanggil. Kemudian ia berteriak, tidak memanggil. Aku tahu kalau Kau sering menyamar menjadi manusia! Mengapa kau terus menyamar! Aku menoleh pada pintu yang tertutup. Melihat wajahnya bergerak menjauh.

Catatan:
* Rosa adalah Dorothea Rosa Herliany, penyair kelahiran Magelang. Salah satu bukunya berjudul “Santa Rosa”.

(Manna, Agustus 2011)

Leave a comment