Cerpen: Eulogy


 

Kita hanyalah sekumpulan ingatan yang akan terbuang, yang akan membuang dirinya. Seperti yang telah disabdakan oleh Jelinek, Perempuan tua itu, bahwa segalanya adalah fana termasuk seni, yang kita kira abadi. Seperti dirimu yang akan segera hilang setidaknya hingga aku mati atau hingga kehilangan diriku sendiri. Karena di sebagian besar ingatan, kau hanyalah data temporer yang diperbolehkan untuk berdiam tidak lebih dari seminggu.

Aku tak mungkin membayar premi untuk menjaminkan ingatan mengenai dirimu, atau memindahkannya ke dalam sebuah piringan dengan terlebih dulu mengubah wajah dan namamu menjadi rangkaian sinyal listrik satu nol. Kalaupun itu mungkin, aku tidak akan pernah melakukannya.

Aku merekam hampir semua mengenai dirimu. Memasukannya ke dalam ingatanku yang buruk yang hanya mampu menyimpan nama dalam waktu tidak lebih dari tiga hari. Bukankah kau selalu percaya bahwa apapun mungkin saja terjadi? Itu kulakukan untuk dirimu.

Setiap pagi kubuka jendela kamar, merasakan setiap tabrakan nyamuk di wajahku. Dulu kau begitu membenci hewan itu. Memeranginya dengan telapak tanganmu. Meninggalkan pedih dan merah marun di setiap bunyi nyaring. Sekarang satu dari keduanya masih bergelayut di kamar ini.

Aku memandangi atap tetangga yang hanya setengah meter di depan jendela. Menginjaki lantai keramik bergelombang yang dulu kau perbaiki. Apakah kau pernah membayangkan bahwa suatu saat kita dapat hidup bersama untuk waktu yang panjang di sebuah rumah, di sebuah kota? Dan kita tidak perlu lagi hidup di dua rumah yang terpisah ribuan mil.  Dan tidak perlu lagi hidup sebentar di sebuah kamar dengan dinding dan tetangga yang tidak akan pernah menerima keberadaan kita. Dan kau tak perlu lagi merasa bersalah untuk sesuatu yang kita lakukan di dalam kamar ini. Bukankah kau harus menunggu dan aku harus menabung begitu lama?

Aku selalu bingung dengan sikapmu. Kau merasa bersalah untuk sesuatu yang kau butuhkan, yang tidak bernada salah sedikitpun. Apakah aku mengeluarkan nada sumbang malam itu, yang dapat membangunkan tetangga sebelah untuk menggedor pintu dan membangunkan keluarganya untuk ikut memecahkan jendela? Dan dengan rasa bersalahmu itu kita mengulangnya kembali.

Tidak ada hewan berbulu indah di luar kamar ini, yang dulu kau bicarakan dengan cekikikan ditelepon saat kau memandangi seekor kucing yang bermain di sebuah toko hewan peliharaan. Kini hanya ada kucing tua yang pernah kau beri makan, yang sekarang hanya mampu duduk dengan mantel bulunya yang sudah tipis dan bernanah. Hanya ada beberapa lalat yang terbang di atas air yang berwarna hitam. Hanya warna-warna murung yang selalu kau benci dari baju-baju yang kupilih.

Aku merasakan sebuah kotak hitam berdiri di sampingku. Ia ikut memandang ke luar jendela. Salib karatan mengunci lehernya. Aku memeluk pinggangnya. Kemudian ia pergi, mungkin kembali ke rumah orang tuamu. Yang tak menginginkanmu di sini. Yang ingin menyimpan seluruh abumu di rumahnya. 

Malam itu kita bertemu dengan diriku yang masih vegetarian. Kau terus bertanya mengenai pilihanku. Aku tak mau membunuh. Kita semua akan dibunuh. Hah? Oleh penyakit, oleh waktu. Itu bukan dibunuh, itu mati. Sama saja. Dibunuh dan mati itu berbeda. Kita semua memiliki predator. Aku tak mau menjadi predator. Tidak akan bisa, bahkan jika kau tidak makan kau akan tetap menjadi predator, bagi dirimu sendiri. Apakah kau tak takut kehilangan?

Sepulangnya ke kamar kau memberikan sebuah amplop dengan palang berwarna merah di sudutnya. Alasan rasa bersalahku, katamu. Aku membukanya, membaca beberapa paragraf dan sebuah tabel. Aku tak menemukan alasanmu. Mungkin bersembunyi dibalik tabel, katamu. Tidak ada. Pasti dia bersembunyi di sana. Ah, tidak ada alasan di sini, mana mungkin sebuah tanda tambah kecil di sebuah tabel cukup baginya untuk bersembunyi! Tiba-tiba kau menangis.

Kau memelukku hingga pagi. Ini adalah Minggu ke sepuluh kau tidak pergi dengan kemeja dan celana panjang hitam. Aku menanyakan kenapa, kau tidak menjawabnya. Kau memilih untuk bersembunyi di lenganku. Siang ini kamar ini kembali membelah dirinya. Menyeretku jauh. Dan akhirnya kita benar-benar berpisah, pada pagi yang cerah. Pagi saat aku mengutuk matahari yang berani bersenang-senang pada hari yang seharusnya mendung ini. Pagi di saat aku duduk di sebuah bangku di sebuah ruangan yang asing dengan nyanyian dan doa yang asing.

Aku diam, menunduk di dekat dirimu yang berbaring di seberang Kristus. Aku membacakan doa, bahasa yang asing. Menyebut Tuhan, yang asing. Aku tak ingin misa ini disudahi. Karena jika ini selesai, maka aku harus berjalan bersama keluargamu yang tidak pernah mengenalku ke sebuah krematorium. Yang karena aromanya mebuatku kembali menjadi vegetarian. Aku tak ingin mengingatmu dengan sepiring ayam panggang atau sate kambing.

Bisa saja sehari setelah kematianmu, aku menjadi sebuah mesin berjalan dengan engsel dan roda yang tak lagi padu. Menjadi sesuatu yang tak berisi dan tak berarti. Dilupakan sebelum benar-benar tiada. Tapi aku tak mau menyakitimu, aku masih ingin menghidupimu dengan nafkah ingatan yang seadanya. Dulu kau selalu menagih yang seadanya itu kepadaku, setiap kita bertemu. Aku membutuhkannya, katamu. Aku membutuhkanmu, kataku. Semoga kau tidak marah kepadaku atas apa yang aku ceritakan ini.

Di sebelah kasur duduk diam cangkir keramik merah. Aku menggunakannya seperti yang kau suka: menjadi tempat uang receh. Bukan menjadi yang aku suka: alat minum. Jeritan lengking uang logam yang mengalir jatuh dan beradu dengan keramik selalu membuatku duduk di sudut ruangan. Hanya hal-hal seperti ini yang mampu membuatmu tetap ada. Bukan suara lembut air yang berjalan riang.

Jika orang-orang Yahudi itu memiliki sehari duahari Shiva*, maka aku memiliki seumur hidup untuk meratapimu. Aku tak mau sekejam kaum reformis yang hanya memakai pita koyak hitam untuk kekasihnya yang pergi. Aku ingin memakai kain koyak dari baju kelabu yang kupilih dari tumpukan yang dulu kau pilihkan untukku, itu pertama kalinya kau menginjak dirimu. Aku akan memberikan Shiva yang panjang dan koyak ini bagimu.

Dan akan kau dengar lagu-lagu yang dulu kau berikan kepadaku yang kini menjadi ratapan yang kukirim ke dalam dirimu, ke dalam ingatanku.

Aku berbalik, memandangi pintu. Ada yang mengetuk. Kau membuka pintu kamar.

Kenapa begitu lama kau datang menjemput.

Keterangan:

*Shiva adalah hari berkabung dalam tradisi Yahudi. Pada hari-hari itu, yang ditinggalkan memakai pakaian koyak dan mengenang yang wafat. Hari itu adalah untuk yang wafat, dan tidak diperkenankan bagi orang yang berkabung untuk mengenang selain yang wafat.

Leave a comment