Eulogy


Kita hanyalah sekumpulan ingatan yang akan terbuang, yang akan membuang dirinya. Seperti yang telah disabdakan oleh Jelinek, Perempuan tua itu, bahwa segalanya adalah fana termasuk seni, yang kita kira abadi. Seperti dirimu yang akan segera hilang setidaknya hingga aku mati atau hingga kehilangan diriku sendiri. Karena di sebagian besar ingatan, kau hanyalah data temporer yang diperbolehkan untuk berdiam tidak lebih dari seminggu.

Aku tak mungkin membayar premi untuk menjaminkan ingatan mengenai dirimu, atau memindahkannya ke dalam sebuah piringan dengan terlebih dulu mengubah wajah dan namamu menjadi rangkaian sinyal listrik satu nol. Kalaupun itu mungkin, aku tidak akan pernah melakukannya. Lebih menyakitkan melihatmu dengan sebuah tekanan telunjuk di atas layar daripada mencarinya susah payah di dalam rimba kepalaku.

Aku merekam hampir semuanya mengenai dirimu, di dalam ingatanku yang buruk ini yang hanya mampu menyimpan nama-nama dalam waktu tidak lebih dari tiga hari. Tapi kau sendiri selalu percaya bahwa sesuatu mungkin saja terjadi diluar kemampuan biasa saja bukan? Dan itu kulakukan untuk dirimu.

Kemarin aku berkunjung. Memandangi lumut kerak yang merayap di kaki batu nisan. Duduk untuk beberapa jam, mencoba merasakan kehadiranmu di sana. Tetapi yang kudapatkan hanyalah bayangan ranting kamboja tua, angin dari peziarah yang melintas di belakang dan sebuah kesendirian yang duduk persis di sisiku.

Malamnya aku nyalakan lilin yang entah keberapa untuk mengenangmu di gereja yang sama dengan lima tahun yang lalu saat aku duduk sendiri di barisan pertama pada misa requiem. Keluargamu duduk berdesakan di bangku lain. Tidak ada teman yang datang. Karena kau bahkan tak perah memiliki kenalan. Aku berdoa untukmu, di dalam udara dan nyanyian yang asing. Aku berdoa, berkali-kali menyebut Tuhan, sesuatu yang kau anggap asing.

Aku berjalan melalui ambang pintu, meninggalkan kekosongan. Jalan di depan sana begitu gelap.

Kau memelukku sambil memegang sebuah amplop dengan lambang palang merah. Aku sudah tidak takut lagi. Kamu sudah tidak takut lagi? Kau mempererat pelukanmu, menimbulkan bunyi pada tulang di dadaku. Apa yang pernah kamu takutkan? Aku memandang kosong, membiarkan tanganmu yang bisa saja meremukkan tulang belakangku. Membiarkan tubuhmu berguncang. Kemudian aku tak pernah lagi melihatmu keluar  dengan kemeja rapi pada minggu pagi atau sore.

Tak berselang lama seseorang menekan tombol pada sebuah kemudi yang menggerakkan piston berkarat, nasibku. Menabrakkannya tepat ke tubuhku. Lalu menendangku keluar dari kota ini.

Setiap pagi kubuka jendela kamar, membiarkan nyamuk, yang paling kau benci menerobos masuk menubruk wajahku. Memandangi atap tetangga yang hanya setengah meter di depan jendela, menginjaki lantai keramik yang kembali menggembung yang dulu pernah kau perbaiki. Apakah kau pernah membayangkan bahwa suatu saat kita dapat bersama untuk waktu yang panjang di sebuah rumah, di sebuah kota? Dan kita tidak perlu lagi pergi hidup di dua rumah yang terpisah oleh ribuan mil atau pun hidup sebentar disebuah kamar dengan dinding dan tetangga yang tidak akan pernah menerima keberadaan kita. Dan kau tak perlu lagi merasa bersalah kepada induk semang -dia seharusnya bersyukur kepada kita, karena kita tidak akan membuat bumi miliknya menjadi sempit dan berisikan tangisan anak-anak- untuk sesuatu yang kita lakukan di dalam kamar ini, di saat hanya selapis keringat yang memisahkan.. Kau harus menunggu lama agar itu terjadi, dan aku menabung begitu lama untuk bisa memotong ribuan mil itu hingga setipis keringat.

Aku selalu bingung dengan sikapmu. Kau merasa bersalah untuk sesuatu yang kau butuhkan, yang tidak bernada salah sedikitpun. Apakah aku mengeluarkan nada sumbang malam itu, yang dapat membangunkan tetangga sebelah untuk menggedor pintu dan membangunkan keluarganya untuk ikut memecahkan jendela? Dan dengan rasa bersalahmu itu kita mengulangnya kembali saat tabunganku telah memotong jarak kita.

Tidak ada hewan berbulu indah di luar kamar ini, yang dulu kau bicarakan dengan cekikikan ditelepon saat kau memandangi seekor kucing yang bermain di sebuah toko hewan peliharaan. Di sana hanya ada kucing tua yang dulu pernah kau beri makan, yang sekarang hanya mampu duduk dengan mantel bulunya yang sudah tipis dan bernanah. Hanya ada beberapa lalat yang terbang di atas air yang berwarna hitam. Hanya warna-warna murung yang selalu kau benci dari baju-baju yang kupilih.

Aku memandangi lumut di atap seberang. Aku tak mau membayangkannya berada ditubuhmu sekarang. Tapi semua itu datang dengan sendirinya. Bayangan-bayangan datang memakan ingatan tentangmu, mengunyah segalanya menjadi sesuatu yang dingin dan tua. Sesuatu yang begitu ingin untuk segera ditinggalkan, tapi hanya itu yang sekarang membuatmu bertahan, di dalam ingatanku.

Bisa saja sehari setelah kematianmu, aku menjadi sebuah mesin berjalan dengan engsel dan roda yang tak lagi padu. Menjadi sesuatu yang tak berisi dan tak berarti. Dilupakan sebelum benar-benar tiada. Tapi aku tak mau menyakitimu, aku masih ingin menghidupimu dengan nafkah ingatan yang seadanya. Dulu kau selalu menagih yang seadanya itu kepadaku, setiap kita bertemu. Aku membutuhkannya, katamu. Aku membutuhkanmu, kataku. Semoga kau tidak marah kepadaku atas apa yang aku ceritakan ini.

Di sebelah kasur duduk diam cangkir keramik merah. Aku menggunakannya seperti yang kau suka: menjadi tempat uang receh. Bukan menjadi yang aku suka: alat minum. Jeritan lengking uang logam yang mengalir jatuh dan beradu dengan keramik selalu membuatku duduk di sudut ruangan. Hanya hal-hal seperti ini yang mampu membuatmu tetap ada. Bukan suara lembut air yang berjalan riang.

Jika orang-orang Yahudi itu memiliki sehari duahari Shiva*, maka aku memiliki seumur hidup Shiva-mu. Aku tak mau sekejam kaum reformis yang hanya memakai pita koyak hitam untuk kekasihnya yang pergi. Aku ingin memakai kain koyak dari baju kelabu yang kupilih dari tumpukan yang dulu kau pilihkan untukku, itu pertama kalinya kau menginjak dirimu. Aku akan memberikan Shiva yang terpanjang dan terkoyak ini bagimu.

Dan akan kau dengar lagu-lagu yang dulu kau berikan kepadaku yang kini menjadi ratapan yang kukirim ke dalam dirimu, ke dalam ingatanku.

Aku berbalik, memandangi pintu. Ada yang mengetuk. Kau membuka pintu kamar.

Kenapa begitu lama kau datang menjemput.

Keterangan:

*Shiva adalah hari berkabung dalam tradisi Yahudi. Pada hari-hari itu, yang ditinggalkan memakai pakaian koyak dan mengenang yang wafat. Hari itu adalah untuk yang wafat, dan tidak diperkenankan bagi orang yang berkabung untuk mengenang selain yang wafat.

Leave a comment