Cerpen: First day of winter


untuk R.H.

 

Di kursi tunggu peron ia duduk, bukan menunggu. Ia memandangi kereta yang lewat tiap beberapa menit. Satu per satu orang yang duduk di dekatnya beranjak naik. Setiap kereta hanya dimasuki tak lebih dari lima orang, banyak yang hanya dimasuki satu atau bahkan tak ada sama sekali. Ia memandang ke dalam kedalaman kaca film, wajah dibaliknya hanya berhenti sebentar di depan, sebelum bergerak menjauh. Tanpa ekspresi, memandang jauh dengan tatapan kosong dan kelopak yang tak pernah berkedip. Ia memeluk lutut, telapak kakinya menyentuh kursi alumunium yang dingin dan keras. Ia rindu kasur yang kasar dan hangat. 

 

Tak ada suara di stasiun itu, hanya deru kereta yang datang dan pergi tanpa suara khas dari bel dan peluit. Ia mengenal semua orang di sana, tapi enggan mengobrol karena tidak biasanya mereka membisu seperti itu. Sebuah kereta datang, ia menutup mata dan menyumbat telinga dengan jari, suara keras dan benda berukuran raksasa selalu menjadi mimpi buruk baginya. Setelah suara berhenti, tubuhnya bergerak,kakinya turun, lalu badannya  berdiri dan berjalan ke sebuah pintu yang terbuka. Ia tidak bisa melawan, atau berbalik. Dirasakannya otot wajahnya menjadi kaku. Ia merasa seperti baru saja mendapat suntikan botox, kaku, beku.

 

Di dalam gerbong, tubuhnya duduk, dapat ia rasakan pendingin ruangan yang tepat menghembus ke arahnya. Lehernya membatu, engselnya seperti digips menjadi satu. Beberapa menit yang panjang itu dilanjutkan dengan wajah yang bergerak hilang tertinggal di peron. Dalam hitungan detik kereta memacu kecepatan yang tak pernah ia bayangkan. Lalu ia mendengar suara keras, seperti ledakan. Kereta itu jatuh bebas dari rel yang putus ke dalam jurang, berubah menjadi wahana halilintar tanpa gravitasi. Tubuhnya melayang. Dilihatnya tebing berlumut di luar bergerak begitu cepat. Sudah lewat sepuluh menit tapi kereta belum juga menghantam dasar jurang.

 

Lumut di gigir tebing bergerak mendekat. Jurang itu menyempit, membentuk corong raksasa berwarna hijau-coklat. Ia membayangkan gua gelap, lorong menuju langit lain, bumi lain. Dan setelah kegelapan yang panjang itu, matanya akan dihujani dengan cahaya matahari lain yang akan tetap berpendar di balik kelopaknya yang tertutup. Lalu ia akan kembali teringat pada sebuah lagu yang dulu sekali ia dengar, Somewhere Over The Rainbow. Di atas awan kereta berhenti, sebuah pelangi menembusnya. Dan segalanya begitu damai.

 

Kedamaian di dalam kepalanya terhenti, ketika tubuhnya kembali diliputi gravitasi. Kereta itu menghantam dasar jurang, ia menghantam dinding gerbong. Suara keras disusul api yang menelan semuanya. Ia merasakan angin menerpa tubuhnya. Dan ia kembali terjatuh, melintasi api yang berujung ubin batu andesit dingin. Suara dari logam yang bergesekan mengiris keheningan.

 

Tubuhnya kembali menjadi miliknya, menjadi budak yang penurut. Ia mendongak memandangi kubah besar berdebu bergaya beaux-art. Ia kembali berada di peron. Pintu kereta tertutup membawa orang yang beku. Membawa orang-orang yang dekat dengannya. Semuanya pergi, hanya ia yang kembali.

 

Berdiri lalu ia berjalan melintasi peron. Menembus udara yang kosong. Melewati lorong yang dingin. Menghidup oksigen yang begitu murah karena hanya ia yang memakainya di lorong itu. Ia berjalan meninggalkan stasiun, meninggalkan cafe dan wangi keik keju, meninggalkan kekosongan.

 

Jalan bersudut sempurna yang membagi kota menjadi persegi panjang kecil berwarna abu-abu dengan pengenal angka ini pernah dikenalnya. Ia tidak mungkin melupakannya, di saat semua kota di dunia menyesatkan kendaraan dan pejalan kaki, kota ini menuntunnya. Jalanan itu terasa kaku dan membosankan, dengan sangat sedikit jembatan yang sama membosankannya. Tetapi ia tersenyum melihat dengan antusias, menjalani jalan, trotoar, tikungan dan toko-toko roti bagel yang pernah menjadi kehidupannya. Ia membayangkan jalan dan trotoar itu dipenuhi taksi kuning dan manusia serta kertas pembungkus roti yang jatuh dan terinjak di masa lalu. 

 

Setelah beberapa belas blok, ia memutar badannya sembilan puluh derajat menghadap ke sebuah flat. Kepalanya mendongak, memperhatikan sebuah jendela kecil yang dulu setiap pagi ia akan muncul kepada dunia dengan muka bantal dan segelas kopi. Sebuah lubang tempat ia dengan antusias menyambut salju pertama turun. Lubang tempat ia memandang jauh ke seberang, ke sebuah pent house yang membuatnya membagi sebagian hidupnya yang sedikit, yang  membuatnya menghabiskan tabungan dan sisa hidupnya di flat itu. Salju pertama tahun ini turun mengenai rambutnya.

 

Ia mengingat-ingat sebuah pantai putih dengan laut hijau-biru tempat ia dan kamu akan pergi dan bersatu. Dirasakannya keringat dan tubuh yang memanas saat ia memilih tempat, pendeta, dan penyedia yang memungkinkan sesuatu yang tidak bisa terjadi di tempat tinggal kalian dulu terjadi. Ia melihat dirinya dan kamu memilih banyak hal, beberapa kali kalian bertengkar hebat, beberapa kali juga kalian sepakat. Membeli banyak hal, mempersiapkan satu hal. Kepergian.

 

Hingga suatu saat kalian tiba-tiba memutar kemudi, berbelok ke tanah yang beku di bulan Desember. “Bukankah ini sama-sama putih?” katamu. Ia terpaksa setuju. Kalian memesan ulang tempat, pendeta, dan penyedia. Semoga saja disana sudah bisa, pikirnya.

 

“Selama ini aku bingung, untuk apa kita mempersiapkan semua ini? Kita berdua asing di negeri yang asing. Mencoba mewujudkan sesuatu yang dulu tidak mungkin. Tapi apa semua berguna kalau kita kembali pulang? Kau mau kembali tidak diakui. Tak ada pengurangan pajak, tak ada tunjangan, tak ada yang berubah hanya kebencian yang menumpuk.” katamu.

 

Ia diam, tidak menjawab. Terpaku ke layar komputer, mengirim surel save the date kepada beberapa orang, membuat undangan di jejaring sosial, mengecek kembali semuanya. Mendiamkannya, membiarkan semuanya mengendap, biar kalian saja yang larut. Tapi ia tak sadar bahwa kamu menolak larut, kamu menahan, membangun dinding pertahanan tebal untuk musuh yang tak kunjung datang yang bahkan tak kamu ketahui.

 

Kemudian kamu menenggelamkan semua pertanyaanmu, kalian terbang bersama ke tanah dengan musim yang asing. Semuanya berjalan lancar, upacara dan pengesahan. Kamu memintanya untuk tetap tinggal, mencari pekerjaan lalu setelah memungkinkan berpindah kewarganegaraan. Ini lebih masuk akal, katamu. Aku tak yakin akan betah dengan kota ini, jawabnya. 

 

Ia setuju, kalian menyewa flat dengan sisa tabungan, melamar pekerjaan. Ia diterima di bagian olahraga di sebuah surat kabar dan kamu menjadi seorang auditor. Ia membenci olahraga sejak sekolah dasar. Dan kamu mencintai akuntansi sejak sekolah menengah. 

 

Jam kerja kalian tidak menentu, saat ia sibuk sejak dini hari, kamu sedang tidak memeriksa apapun, dan sebaliknya. Hanya keajaiban dan tengah malam yang mempertemukan waktu senggang kalian. Sebelum berangkat ia selalu membuatkan sarapan untukmu, menyapkan bekal makan siang, dan makan malam yang didinginkan di lemari es. Setiap pagi yang kamu temukan hanya sebelahmu yang kosong dan semua makanan itu. Kamu sarapan sendirian sambil menonton berita ekonomi. Memandangi angka-angka merah dan hijau. Kalian tidak pernah makan malam bersama di luar. Berusaha menghemat.

 

Di sana ia jarang memberimu jatah bukan jatah uang tapi yang lain yang membuat kalian terikat. Kamu memintanya, terkadang ia yang meminta. Beberapa kali kalian bertengkar. Beberapa kali kalian mendapat jatah istimewa sehabis ribut mereda. 

 

Ia lelah, memutuskan untuk menjadi penulis lepas. Kamu melarangnya setengah hati. Kehidupan kalian menjadi lebih sulit. Kamu menanggung kebutuhannya, ia menjadi bebanmu. Tulisannya sulit diterima. Ia mundur, mencari pekerjaan. Ia menjadi auditor, sepertimu. Kini waktu kalian jadi lebih banyak. Tapi kalian tetap berhemat. Cukup makanan murah untuk sebuah rumah yang lebih besar. Karena properti tak pernah merugi katamu dan makanan hanya menambah hidup tiga hari saja.

 

Setelah puluhan tahun makanan murah, tabungan kalian akhirnya cukup untuk membeli sebuah pent house. Kamu bekerja sambilan, meneruskan kesukaanmu: menulis. Tahun-tahun merubah segalanya, tempat tinggal, selera pembaca, diri kalian. Ia menulis negeri yang kalian tinggalkan, memenangkan Pulitzer Prize, menabung seluruh hadiahnya. Kalian pensiun dan hidup dari tulisan.

 

Tak ada yang kekal dari semua yang terkondisi, kamu mulai sakit-sakitan di akhir 70-mu, royalti dari puluhan bukunya mulai berkurang karena selera orang kembali berubah, tabungan kalian tergerus. Kamu keluar masuk rumah sakit, ia selalu duduk menungguimu, membacakan cerita-ceritanya, dan ia pergi hanya untuk membuatkan makanan.

 

Kemudian kamu pergi saat ia menungguimu sambil menuliskanmu sebuah cerita di hari pertama musim dingin kalian yang ke-46. Kenapa kamu tidak menunggu sampai cerita ini selesai? Apa kamu sudah bosan dengan tulisanku? Ia tertidur dengan mata bengkak di sampingmu. 

 

Ia mendapat serangan alzheimer, pindah ke flat yang dulu kalian tinggali. Menghabiskan hidupnya duduk di balik jendela, memandangi pent house kalian. Memandangi jalanan yang kosong. Ia tidak lagi melihat orang lain. Yang dapat ia lihat hanya dirinya sendiri yang setiap hari berjalan dan berhenti di depan flat. Dan setiap hari adalah hari pertama musim dingin. 

 

 

Manna, Februari 2012

Tagged

Leave a comment